Chapter 11 Ngeronda

"Den, mau ikut ke masjid nggak?" tanya Mang Dasa.
Ezra yang baru saja mematikan televisi langsung menoleh. "Gak dulu deh, Mang," jawabnya.
"Kapan-kapan Aden ke masjid, ya. Ini perintah langsung dari ibu soalnya. Kata ibu biar Aden rajin solat dan bisa ngaji." Ceu Itoh datang sambil membenarkan letak mukenanya.
Di belakang Ceu Itoh, Jajang juga sudah rapi dengan sarung, peci dan juga baju kokonya yang terlihat licin.
"Iya, Mbok."
"Semua pintu kunci ya, jendela juga kunci. Soalnya akhir-akhir ini banyak kabar kalau maling mulai berkeliaran lagi. Kunci garasi dari dalam saja ya, Den, biar nanti kalau ada apa-apa maling susah buat masuk ke sana."
"Iya, Mang."
"Kami pergi dulu, ya. Hati-hati di rumah. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Setelah ketiga orang itu keluar dari rumah dan berbelok jalan menuju masjid, Ezra langsung mengunci pintu depan pergi ke belakang untuk mengecek pintu-pintu yang lain, terutama pintu garasi. Kara harga barang yang ada di garasi lebih mahal dari harga barang-barang yang ada di dalam rumah.
Sambil menunggu waktu, Ezra sibuk SMS-an dengan pacar dan para selingkuhannya. Sesekali ia membuka akun sosial medianya dan saling membalas komentar dengan teman-temannya yang berada di kota, menanyakan kabar dan tentang hukuman yang diberikan kepada mereka yang waktu itu positif mengonsumsi bahan-bahan zat adiktif.
Satu jam kemudian, orang-orang sudah pulang dari masjid. Ezra buru-buru membuka pintu dan menyambut kedatangan pemilik rumah.
"Mang, tadi Ezra dapat kabar dari teman sekolah, katanya di daerah dia baru aja ada yang kemalingan kambing."
"Tadi banget, Den?"
Ezra mengangguk. "Iya, kayaknya sih pas magrib. Soalnya tadi pas sebelum ke masjid, si kambingnya itu masih ada. Pas pemiliknya pulang ke masjid mau ngasih pakan lagi eh si kambingnya udah gak ada, tinggal anaknya doang."
"Teman Aden orang mana?" tanya Ceu Itoh.
"Orang kelurahan sebelah, Mbok."
Suara kentungan mulai terdengar. Mang Dasa terlihat mempercepat makan malamnya.
"Den mau ikut ngeronda?"
Ezra terdiam sejenak.
"Akak Ezra ini jangan diajak ngeronda, Pak. Keluar rumah buat ngambil air aja Akak Ezra harus diantar. Hehehe..."
Wajah Ezra sedikit bersemu merah.
Sebenarnya Ezra tidak takut keluar rumah malam-malam, tapi karena ada tetangganya yang baru meninggal dunia, nyali Ezra langsung ciut. Selain itu, karena melihat Jajang yang juga hanya berdiam diri di depan pintu belakang. Jadi, ketika mereka hendak keluar, mereka berpapasan dan akhirnya keluar bersama.
"Kayak kamu aja gak takut, Jang. Kamu juga, kan, akhir-akhir ini selalu harus diantar kalau ke air," ucap Ceu Itoh, memenangkan untuk Ezra.
"Ehehehehe...."
Selesai makan malam, Ezra dan Mang Dasa langsung pergi ke pos kamling RT-nya, yang posisi pos kamlingnya dekat dengan masjid dan jalan yang sering dilalui. Bunyi kentungan kembali terdengar dan bersahutan dengan kentungan pos kamling RT sebelah.
Di pos kamling, sudah banyak bapak-bapak dan pemuda-pemuda yang berkumpul. Ezra tidak begitu tahu dan kenal dengan mereka. Padahal ada pemuda yang seumuran dengannya, bahkan satu sekolahan. Tetapi Ezra tidak begitu kenal dengan orang tersebut.
"Den, mau ngopi?" tanya Mang Dasa. Di sana banyak sekali kopi dari berbagai merek. Banyak gelas juga ada dua termos air panas.
Di depan pos kamling para bapak-bapak membuat api unggun dan membakar singkong untuk nanti dimakan bersama-sama. Meronda ditemani dengan cahaya sinar bulan purnama, singkong bakar dan kopi sepertinya sangat nikmat. Ini pengalaman pertama bagi Ezra. Biasanya kalau sedang mendaki gunung Ezra tidak pernah merasa begini. Ditambah lagi ada yang membawa radio antena, mereka mendengarkan siaran dongeng Mang Jaya, yang sudah terkenal seantero jagad. Karena Ezra tidak bisa dan tidak mengerti bahasa Sunda, jadi Ezra tidak tahu tata letak keseruan dongeng yang sedang dituturkan itu di mana.
"Nanti aja, Mang," jawab Ezra.
Waktu mulai menunjukkan semakin malam. Orang-orang mulai dibagi tugas untuk berkeliling.
Anak-anak yang besok bersekolah disuruh pulang oleh orang tua. Tetapi mereka tidak jadi pulang karena dari RT tetangga terdengar suara kentungan yang cepat dan teriakan orang-orang. Mereka kemudian berlarian menuju ke arah sumber suara.
"Maling! Maling! Maling!" Orang-orang terus meneriakkan kata maling. Mereka mulai berpencar ke berbagai jalan pintas yang mungkin jadi jalur pelarian dari si maling tersebut.
Mereka mengejar sambil memberitahu informasi siapa yang kemalingan dan apa yang dicuri. Ternyata maling tersebut mencuri ayam para warga. Menurut saksi, katanya maling itu ada tiga orang, mereka semua berpakaian gelap jadi saksi tidak bisa melihat wajah dan arah perginya para maling.
Di jalanan bebatuan dan terjal, mereka mulai mendengar suara deru mesin mobil. Orang-orang makin mempercepat larinya daan salah satu dari orang yang mengejar melemparkan sebuah batu ke arah kaca depan mobil sampai membuat kacanya pecah dan mengenai si pengemudi.
"Ingat, jangan main hakim sendiri!" teriak Pak RT sebelah.
Satu kubu mengepung mobil daan mulai mengikat pengemudi mobil pickup, sementara dua kubu yang lain mulai mencari dua maling yang melarikan diri.
Ezra yang mengejar kehilangan jejak maling dan juga teman-temannya gara-gara sandal yang digunakannya putus.
Karena kelelahan, Ezra menyandarkan tubuhnya kesebuah pohon belimbing. Saat sedang enak-enak beristirahat, tiba-tiba saja bahu Ezra dipukul oleh seseorang. Ezra langsung menoleh, matanya menyipit lalu mengarahkan senter pada orang yang memukulnya itu. Dari pakaian yang dipakainya, serta raut wajah penuh dengan rasa ketakutan, Ezra sangat yakin sekali kalau orang yang berada di depannya ini adalah salah satu maling yang sedang dikejarnya.
Maling itu kemudian menodongkan pisau ke arah Ezra sambil mengancam Ezra dengan berbicara menggunakan bahasa Sunda. Meskipun Ezra tidak mengerti, tetapi ia yakin kalau dirinya berbuat macam-macam, maling tersebut tidak akan segan berbuat yang diluar batas.
"Adeeen!!!" Tetangga Ezra yang ikut mengejar tiba-tiba berteriak kaget melihat Ezra dalam bahaya. Orang-orang juga ikut kelimpungan, takut jika si anak kota itu terluka.
"Kalian gak usah panik. Aku baik-baik aja. Aku bisa mengatasi ini sendiri," ucap Ezra kalem.
"Ta-tapi, Den..."
Ezra menarik napas kemudian mengembuskannya perlahan. "Sini lo maju kalau berani!" teriak Ezra pada maling tersebut.
Karena ditantang seperti itu, apalagi oleh seorang bocah songong, membuat emosi si maling bergejolak. Dengan membabi-buta, maling tersebut menyerang Ezra. Orang-orang yang melihat hal tersebut berteriak panik, berbanding terbalik dengan Ezra yang bersikap tenang dan penuh konsentrasi yang dengan sekejap mata langsung menumbangkan si maling dengan hanya satu gerakan yakni meninju si maling tepat di perut ulu hati.
Orang-orang yang tadi berteriak panik sekarang malah berteriak bersorak karena melihat Ezra berhasil selamat dan mengalahkan maling.
Maling tersebut kemudian diikat dan dibawa ke kantor kepala desa. Sayangnya satu maling tidak dapat ditangkap dan sekarang menjadi buron polisi desa.
Keesokan paginya, kabar ezra yang mengalahkan maling menjadi perbincangan hangat.
Di sekolah, Ezra bagai artis yang diserbu oleh para wartawan untuk memberikan konferensi pers. Bahkan para guru juga penasaran dengan kabar tersebut.
"Jadi benar kamu dulu di Jakarta ikut kegiatan karate?" tanya Pak Ahmad, guru fisika sekaligus wali kelas kelasnya Ezra.
Ezra mengangguk. "Benar, Pak. Saya sudah sabuk hitam dan beberapa kali pernah mengikuti lomba dan beberapa kali saya menyandang gelar juara."
Pak Ahmad menepuk-nepuk bahu Ezra. "Bapak senang kamu pandai di bidang non akademik juga. Pesan dari Bapak, kamu jangan menyalahgunakan seni beladiri itu ya, gunakanlah hal tersebut pada waktu yang tepat, jangan digunakan untuk ajang pamer apalagi sok jadi jagoan. Kalau seni beladiri digunakan untuk sesuatu hal yang menyimpang, maka hal tersebut tidak akan bermanfaat bagi kamu ataupun orang lain."
"Baik, Pak. Saya akan ingat dengan kata-kata Bapak."
Ezra pamit keluar dari ruang guru bersama dengan Emin yang sedari tadi menemani Ezra yang dipanggil untuk menghadap ke ruang guru.
"Pantesan waktu itu kamu diajak berantem sama Kak Wahid gak mau, takut lawannya masuk rumah sakit, ya?" tanya Emin.
"Itu salah satunya, tapi sebenernya gue udah diambil janji sama sumpah buat gak menggunakan jurus karate buat hal yang negatif. Kan namanya bela diri, jadi dipake pas lagi genting. kalaupun ada kakak kelas yang tiba-tiba nyerang gue, gue bakal lawan dia kayak gue ngelumpuhin maling kemaren, cuma dipukul di titik lemahnya doang."
Emin mengangguk-angguk paham. "Kamu makin disukai aja sama orang-orang," ucap Emin. Ia tiba-tiba lari menjauh dari Ezra karena di depannya banyak sekali murid perempuan yang berkerumun dan mengejar Ezra.

Book Comment (51)

  • avatar
    Norzatul Aqma

    the best

    06/07

      0
  • avatar
    BalayongJovita

    love this

    20/06

      0
  • avatar
    Adijah Taif

    Siok cerita ni

    14/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters