Chapter 12 Tebar Pesona

"Kalau ada orang yang mau lewat, seharusnya kamu sadar diri. Minggir dong sana, jangan ngehalangin jalan."
Ezra tersenyum simpul sambil menoleh ke arah Wulan dan teman sebangkunya, Kemala.
"Kalau ada orang yang udah nolongin, seharusnya lo juga bilang terima kasih, dong."
Wulan menautkan alis, bingung. Soalnya Wulan tidak merasa berhutang budi apa pun.
"Lo jangan pura-pura gak tahu ya, Lan. Gue itu udah nolongin ternak para warga yang dicuri, gue juga udah menangkap malingnya. Seharusnya lo berterima kasih ke gue karena ayam paman lo gak jadi raib gara-gara maling itu."
Ezra tahu pamannya Wulan jadi korban kemalingan itu dari Mang Dasa dan Emin. Ezra semakin bangga pada dirinya sendiri karena berhasil mencuri perhatian dari anggota keluarganya Wulan. Kalau seperti ini, pandangan keluarga besar Wulan akan terus menilai Ezra dengan positif. Siapa tahu nanti kalau Ezra berniat mendekati Wulan keluarganya akan langsung memberikan lampu hijau.
"Kamu pamrih? Perasaan pak polisi yang suka menangkap maling gak pernah minta imbalan ke keluarga korbannya."
"Ya beda, dong. Gue, kan, bukan polisi. Jadi wajar aja kalau gue pamrih permintaan terima kasih. Gue gak minta yang muluk-muluk, kok. Cuma ucapan terima kasih aja buat menyadarkan diri lo."
Wulan berdecak kesal. Ia menatap Ezra dengan malas kemudian berjalan menyamping demi bisa keluar dari perpustakaan.
"Hey, jangan kabur lo!" Ezra mengikuti Wulan dari samping, sekarang mereka berdua berjalan sejajar, sementara Kemala berjalan di belakang dua sejoli itu.
"Kamu bisa gak, sih, jangan ngikutin aku terus?"
"Siapa juga yang ngikutin elo. Orang gue mau ke kelas, kok."
"Kalau mau ke kelas sana duluan aja, atau nggak jalan di belakang, jangan jalan di samping aku kayak gini."
"Suka-suka gue, dong. Kok lo sewot."
Wulan mendengus sebal. "Heh, asal kamu ingat ya, gara-gara kamu kepo-in aku, aku dilabrak tuh sama pacar kamu. Padahal kamu yang kegatelan, tapi aku yang dituduhnya. Seharusnya juga kamu sadar diri, minta maaf sama aku."
"Karena lo gak mau berterima kasih, gue juga gak mau minta maaf sama lo. Impas, kan? Kalau lo dilabrak lagi sama pacar gue ya itu, sih, derita lo ya. Hahaha...." Ezra berjalan dengan santai mendahului Wulan dan Kemala. Kedua tangannya ia masukkan ke saku celana, sambil bersiul, ia menebarkan pesona pada murid-murid perempuan yang kebetulan sedang beristirahat di pinggir koridor.
"Lan, kayaknya Ezra emang beneran suka sama kamu, deh. Dia getol banget cari perhatian terus sama kamu. Dia terus cari-cari info nomor hape kamu. Kalau aku jadi kamu, aku gak bakal sok jual mahal ke dia. Aku pasti bakal menerimanya."
"Kok mau, sih, jadi pacarnya buaya itu? Heran, aku." Wulan menggelengkan kepalanya tidak habis pikir dengan para perempuan yang sangat kesengsem dengan pesona Ezra dan rela cintanya dibagi-bagi seperti pizza.
"Dapat pacar keren dan ganteng, gaul juga, ya itu sebuah anugerah, Lan."
"Jangan berbicara seperti itu, Kem. Memangnya kamu mau digeruduk sama pacarnya?"
Kemala bergidik. "Ya gak mau atuh, Lan. Aku gak mau mati muda, ya."
"Makanya jangan banyak tingkah."
***
Ketika baru sampai dari pulang sekolah, Ezra heran karena di rumah Mang Dasa banyak sekali orang. Kira-kira ada apa, nih? Kok ramai sekali?
"Itu dia orangnya sudah pulang," ucap Ceu Itoh.
Ezra buru-buru memarkirkan motornya dan bergegas menghampiri orang-orang yang sedang duduk lesehan di depan teras.
"Ada apa, Mbok?" tanya Ezra dengan penuh keheranan.
"Ini, Den. Orang-orang ini yang waktu itu ternaknya dicuri. Mereka datang ke sini mau mengucapkan terima kasih sama Aden."
Ezra menatap orang-orang itu satu persatu. Kalau tidak salah ingat, orang yang sedikit kurus tinggi dan berkumis tipis itu sepertinya pamannya Wulan. Siapa ya, namanya? Ezra lupa.
Dengan tertib, mereka bergiliran mengucapkan terima kasih dan memberikan Ezra makanan yang tak terhitung jumlahnya. Diperlakukan seperti itu membuat Ezra lumayan malu, apalagi ada ibu-ibu yang sampai menangis. Aduh... Ezra malah jadi semakin salah tingkah. Apalagi Pak Ketua RT, RW, Lurah dan Pak Kepala Desa beserta jajarannya tiba-tiba muncul dan memberikan apresiasi pada Ezra, si pemuda multitalenta yang datang dari kota.
Dua jam kemudian, sekitar pukul setengah empat sore, orang-orang mulai bubar dari rumah Mang Dasa.
Ezra buru-buru menelepon orang tuanya dan memberitahukan kejadian hari ini pada mereka. Kedua orang tua Ezra merasa bangga karena akhirnya anaknya bisa berguna juga, bukan hanya menjadi beban saja.
Sebagai bentuk apresiasi bagi anak semata wayangnya yang mulai berguna dalam lingkungan sosial, maka kedua orang tua Ezra sepakat untuk menambah uang jajannya khusus untuk bulan ini saja.
Keesokan harinya, tiba-tiba ada sebuah truk pengantar barang yang mencari alamat rumah Mang Dasa.
Baik Mang Dasa maupun Ceu Itoh merasa heran ketika melihat sebuah kulkas, mesin cuci, sepeda dan televisi berjajar rapi di depan teras rumahnya.
"Punten ini teh, Jang. Barang-barang ini milik siapa? Saya mah merasa tidak pesan semua barang-barang ini. Apa mungkin Ujang salah alamat?" tanya Mang Dasa pada sopir truk tersebut.
"Benar kok, saya tidak salah alamat. RT dan RW di sini sesuai dengan apa yanag ditulis. Dan di kampung ini hanya satu orang yang namanya Mang Dasa."
"Ini bayarnya bagaimana, Pak? Kita gak punya banyak uang. Apa jangan-jangan ini penipuan?" bisik Ceu Itoh.
"Maaf, Jang. Tapi saya merasa tidak pernah beli semua barang ini." Mang Dasa kembali meyakinkan kalau dirinya bukan sis penerima barang kiriman tersebut. "Silakan Ujang ambil kembali barang-barang ini. Dan telepon pembeli aslinya."
Sopir truk itu menuruti saja, soalnya dirinya tidaka mau menaikkan kembali berang tersebut ke dalam truk. Dirinya juga tidak mau berdebat dengan seseorang yanag lebih tua dari dirinya.
Di lain tempat, lebih tepatnya di sekolah. Ezra yang sedang mengikuti kegiatan belajar mengajar tiba-tiba perhatiannya teralihkan karena merasakan getaran darai ponsel yang ia simpan di saku celananya.
Dengan sembunyi-sembunyi, Ezra mengangkat telepon dari nomor yang tidak diketahuinya.
"Halo?"
["Halo, punten, Kang, saya mau nanya. Ini barang pesenan sudah sampai di rumah Mang Dasa tapi orang-orang rumah tidak mau menerima. Bagaimana ini, Kang?"]
"Sebentar, Bang. Tunggu saya sepuluh menit lagi. Saya masih di sekolah soalnya."
Ezra mematikan sambungan telepon. Ia buru-buru merapikan peralatan tulisnya kemudian memasukkannya ke dalam tas.
"Pak? Maaf sebelumnya, apakah saya boleh pulang terlebih dahulu? Di rumah sedang ada sesuatu." Ezra langsung mencium tangan Pak Enda dan keluar dari kelas tanpa menunggu persetujuan dari pak guru matematika tersebut.
Pak Enda tidak bisa menegurnya karena dirinya terlihat bingung melihat ekspresi Ezra yang kaget dan gelisah.
Akting Ezra ternyata cukup mumpuni untuk mengelabui orang-orang.
"Ezra kenapa, Min?" tanya Pak Enda.
Emin menggeleng. "Saya tidak tahu, Pak. Tapi tadi Ezra mendapatkan telepon, tidak tahu dari siapa. Kata Ezra dia akan pulang ke rumah sepuluh menit lagi."
Pak Enda mengangguk mengerti. Beliau kemudian kembali melanjutkan pelajarannya.
***
Mendengar penjelasan Ezra, mau tidak mau Mang Dasa dan Ceu Itoh percaya tetapi tidak percaya. Ceu Itoh sampai menepuk-nepuk pahanya saking berasa sedang bermimpi.
"Aduh, Aden... padahal maha jangan dibeliin tv baru juga tidak apa-apa, kan Mbok sama Mamang sudah digaji oleh orang tua Aden." Ceu Itoh menangis tersedu, sambil memeluk televisi dan kulkas yanag masih dibungkus dengan kardus.
"Bukan Ezra yang belinya, kok, Mbok. Mama sama Papa yang beli. Sebenarnya, sih, aku yang minta, soalnya kulkas yang di rumah freezer-nya udah rusak, tv layarnya udah berwarna banyak semutnya. Itu sepeda Jajang juga rantainya sering putus, sayang uang kalau harus diservis mulu."
Tidak berapa lama, tukang servis televisi datang untuk mengganti parabola yang sudah berkarat dan sering hilang sinyal.
Sopir truk dan temannya membantu menggotong barang-barang yang tidak akana digunakan lagi itu ke dalam gudang. Lima menit kemudian, tiba-tiba ada mobil pick-up datang membawa kursi yang super mewah dan pastinya empuk. Selain itu ada mobil lain yang membawa beberapa kasur berukuran king.
Gara-gara Ezra dan orang tuanya yang memborong semua barang-barang tersebut, terjadilah kehebohan di kampung itu. Lagi-lagi mereka bertanya-tanya, sebenarnya sekaya apa, sih, keluarga Ezra yang tinggal di ibukota? Sampai-sampai semua barang yang mahal langsung dibeli.

Book Comment (51)

  • avatar
    Norzatul Aqma

    the best

    06/07

      0
  • avatar
    BalayongJovita

    love this

    20/06

      0
  • avatar
    Adijah Taif

    Siok cerita ni

    14/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters