Di rumah Mang Dasa sekarang banyak orang, lebih banyak teman-teman Jajang, sih, sebenarnya. Soalnya mereka datang atas rekomendasi undangan dari sang tuan rumah. Bukan suatu rahasia lagi kalau sekarang semua perabot yang ada di rumah itu serba baru, apalagi sebuah televisi LED 32 inch terpampang jelas di ruang tengah, menonton di layar televisi slim dan super cerah berasa sedang menonton layar di bioskop. "Sini, Mbok biar Ezra aja yang bawa ke luar," ucap Ezra saat melihat Ceu Itoh hendak membawa satu nampan berisi goreng bakwan dana tahu isi. Gorengan tersebut akan disuguhkan pada orang-orang yang sedang bekerja memperbaiki bak kamar mandi, membuat cor beton untuk penyangga toren air juga membuat tempat cuci piring di luar, samping sumur. Selain itu sumur juga sudah dipasang mesin air, jadi Ezra dan yang lain tidak usah repot-repot menimba lagi. Di dapur juga sudah dibuat wastafel, jadi sekarang kalau Ezra mau mencuci piring tidak harus repot-repot keluar. Ah ya dan satu lagi yang paling penting. Kalau Ezra mau mencuci pakaian, sekarang tinggal satu kali pencet tombol saja karena sekarang sudah ada mesin cuci. Bye bye cuci baju pakai tangan yang bikin bahu pegal. Semua pekerjaan progresnya baru delapan puluh persen. Yang paling lama menunggu bak mandi kering selain itu sebelum dipakai, baknya harus dicuci bersih supaya material-material yang menempel di bak hilang, jadi ya beberapa hari ini Ezra sering mandi di empang dulu. Selesai memberikan gorengan ke para pekerja, Ezra kembali ke dalam rumah dan ikut menonton bersama dengan para bocah yang anteng menonton televisi dengan sorot mata yang berbinar. Ada satu anak yang menarik perhatian Ezra, anak itu terlihat pendiam, berpakaian cukup lusuh tetapi potongan rambutnya sangat rapi. Kalau dilihat dengan teliti, orang itu lumayan mirip dengan seseorang. "Nama kamu siapa?" tanya Ezra. Sengaja ia tidak menggunakan kata 'lo' pada anak-anak, nanti kalau mereka takut terus menangis dan tidak mau berteman dengan Jajang karena tahu Ezra yang satu rumah itu orangnya galak. Kan kasihan. "Nama saya Rukman, Kak," jawab anak itu dengan suara yang pelan. "Rukman ini adiknya Teh Wulan, Kak. Dan yang ini sodaranya Akak Emin, Bani namanya." Jajang memperkenalkan satu persatu temannya yang katanya kakak-kakak mereka itu satu sekolahan dengan Ezra. "Seriusan kamu adiknya Wulan?" tanya Ezra tidak percaya. Pantas saja kalau dilihat memang Rukman ini sekilas mirip Wulan, tapi versi cowok. Dan untuk adik sepupu Emin, Ezra sudah beberapa kali melihat Bani di sekitaran rumah Emin, ia pikir Bani itu hanya anak tetangga yang sedang main saja. "Iya, Kak." "Kamu satu kelas sama Jajang?" Rukman mengangguk. "Iya, Kak. Kami teman sebangku." Ezra ingin bertanya-tanya lebih lanjut, tetapi ia tidak mau mengganggu kesenangan Rukman yang sedang fokus menonton acara televisi, jadi nanti ketika teman-teman Jajang bubar, Ezra akan mengantar Rukman dan Bani pulang ke rumahnya masing-masing Rumah mereka kan tetanggaan. *** Wulan menatap Ezra dengan pandangan bingung soalnya tiba-tiba saja Ezra berada di depan rumahnya sambil senyum-senyum dan Rukman berada di samping Ezra dengan wajah yang berseri-seri. "Abis dari mana, kamu?" tanya Wulan. "Jangan galak-galak gitu dong, Lan. Adik kamu ini abis main di rumah Mang Dasa. Teman-teman Rukman yang lain juga main di sana, kan?" Rukman mengangguk mengiyakan. "Sana kamu mandi dulu, habis itu langsung makan. Jangan lama-lama tapi biar gak kesiangan ke mesjidnya." "Iya, Teh." Rukman berpamitan pada Ezra. Ternyata Bani sudah datang ke rumah Rukman untuk mengajaknya mandi bersama, teman-temannya yang lain juga sudah datang. "Lo mau ke mana, Lan?" "Kamu tuh ya selalu saja mau tau urusan orang lain. Gak ada kerjaan banget." "Lo kenapa sih selalu sensi mulu kalau sama gue tuh? Salah gue apa, sih? Masa iya gara-gara lo diomongin sama pacar gue dendamnya sampe sekarang? Kejam amat." "Sadari diri harusnya, yang kejam itu pacar kamu." Ekspresi wajah Wulan berubah semakin sebal saja. "Awas ah, aku mau lewat." "Lo mau ke mana? Sekalian gue anterin, deh." Tiba-tiba ada segerombolan gadis yang umurnya lebih muda dari Ezra datang ke rumah Wulan. Kalau dilihat-lihat lagi, salah satu dari mereka ada yang mirip dengan Wulan. Jangan-jangan itu adiknya Wulan? Para gadis itu saling berbisik ketika melihat Ezra yang tampan dan tubuhnya menjulang tinggi. Gadis yang dikira sebagai adiknya Wulan itu berjalan mendekat, mepet-mepet dan membungkukkan badannya. "Teh, kenapa tamunya gak diajak masuk ke rumah?" tanya Neni dengan suara yang pelan, berbisik. "Dia bukan tamu. Dia cuma orang nyasar yang nanya alamat doang." Wulan menjawab pertanyaan dan berbohong. Para gadis itu tidak percaya. "Kalau gak salah kakak ini yang katanya baru pindahan dari kota, ya?" tanya salah satu dari para gadis itu. "Iya, benar. Nama gue Ezra. Kalau nama kalian siapa?" Satu persatu gadis-gadis memperkenalkan diri. Mereka masih duduk di bangku kelas satu sekolah menengah atas. Selain berkenalan, mereka juga meminta nomor ponsel Ezra. Tentu saja dengan senang hati Ezra memberinya, toh hitung-hitung sebagai anti kegabutan Ezra nanti, lumayan, kan, bisa mengerjai anak yang baru menginjak masa remaja. Para gadis itu datang ke rumah Wulan untuk mengerjakan tugas kelompok menyulam kain. Mereka juga katanya hendak menginap. Ezra berpamitan pada para remaja belia itu karena dirinya sudah tidak melihat keberadaan Wulan. Padahal tadi setahunya Wulan masih berdiri di sampingnya. Jarak tujuh meter dari rumah, Ezra melihat Wulan yang sedang berjalan kaki sendirian. Ezra memelankan laju motornya dan mensejajarkan dengan Wulan. "Lo mau ke mana?" Wulan tidak menjawab. "Kalau ada yang nanya jawab, dong. Jawab pertanyaan itu wajib, lho. Kalau nanya itu sunah." "Jangan sok berlagak seperti pak ustad, deh." "Kalau gitu jawab pertanyaan gue, dong. Apa susahnya, sih?" "Dan apa susahnya buat kamu buat nggak kepo dengan urusan orang lain." Wulan menatap Ezra dengan sengit. "Aduh, Lan. Jangan galak-galak gitu napa. Ntar yang ada lo jatuh cinta lagi sama gue." Wulan mendelik tidak suka. "Mana ada aku bakal terpikat pada orang kayak kamu. Gak bakal, ya. Aku kalau mau jatuh cinta mikir-mikir juga, kali." "Lo gak usah repot-repot mikir buat jatuh cinta sama gue, Lan. Toh tinggal langsung jatuh cinta aja. Buat dapetin gue yang tajir, keren, pinter, ganteng dan punya banyak segudang bakat ini gak perlu mikir sampe jungkir balik." "Semua itu percuma kalau gak setia. Dah lah sana kamu pergi, gak enak banget aku jalan sama kamu dilihatin sama orang-orang." "Gak apa-apa, kali. Berarti mereka itu nyangkanya kita lagi pacaran. Bagus, kan?" Wulan mendengus kesal. "Eh, asal kamu tahu, ya. Rumah pacar kamu itu ada di sini. Dan aku mau ke sana. Kalau pacar kamu salah paham nanti aku lagi yang repotnya." "Pacar gue yang mana, ya?" "Dia teman sekelasku." Ezra mencoba mengingat-ingat. "Siapa, ya?" Aslinya Ezra tidak tahu siapa namanya, soalnya banyak yang jadi pacarnya tapi banyak yang tidak ia anggap. "Ezra!" Orang yang memanggil nama Ezra, Ezra pikir itu Wulan. Tapi ternyata bukan. Orang yang memanggilnya itu kini sedang berdiri di samping Wulan yang sedang membelakanginya.
Download Novelah App
You can read more chapters. You'll find other great stories on Novelah.
the best
06/07
0love this
20/06
0Siok cerita ni
14/06
0View All