Hari Minggu yang tadinya jadwal Ezra kencan dengan anak kelas tiga, Hera namanya, terpaksa dibatalkan karena hari ini Ezra harus berlatih pidato di rumah Bu Asita, wakil kepala sekolah sekaligus guru biologi dan guru kedua ekstrakulikuler tari. Sesuai janji, para siswa yang kebagian tugas lomba pidato harus berkumpul di rumah Bu Asita pukul sembilan pagi. Dengan berpakaian rapi dan wangi, Ezra bercermin di cermin lemari yang besar, setelah itu ia mengambil tas selempangnya kemudian mengambil kunci motor sport yang menggantung di balik pintu. Ezra berpamitan pada Ceu Itoh. Sementara Mang Dasa dan Jajang sedang tidak ada karena sedang pergi ke kebun untuk mengambil kayu bakar. "Ezra berangkat dulu, Mbok." "Iya, Den. Hati-hati." Ceu Itoh tidak banyak bertanya Ezra hendak ke mana, karena tadi malam Ezra sudah memberitahu pada Mang Dasa dan Ceu Itoh kalau dirinya akan pergi latihan ke rumah Bu Asita dan nanti pulangnya dirinya akan kerja kelompok di rumah Asri. Tin! Ezra menekan klakson motornya saat melihat seorang gadis yang sangat dikenalnya sedang jalan kaki bersama seorang ibu-ibu. Kedua orang itu menoleh, sementara Ezra tersenyum ramah, gadis itu malah memasang wajah masam. "Selamat pagi, Tante dan Wulan." "Selamat pagi," jawab ibunya Wulan. Terkesima karena dirinya aru pertama kali ini dipanggil tante. Dengan sikap yang penuh dengan kesopanan, Ezra turun dari motor dan mencium tangan ibunya Wulan. "Perkenalkan, Tante. Nama saya Ezra. Saya temannya Wulan di sekolah." "Salam kenal juga, Nak Ezra. Jangan panggil ibu tante, panggil saja ibu. Ibu tidak terbiasa dipanggil tante." Bu Mimin sedikit tersipu. "Nak Ezra ternyata sangat tinggi, ya. Terakhir ibu lihat Nak Ezra itu ketika di sawah. Ibu tidak menyangka kalau Nak Ezra yang orang kota tapi suka sekali pergi ke sawah dan ke kebun.... Omong-omong, Nak Ezra ini hendak pergi ke mana? Rapi sekali." "Saya hendak pergi ke rumahnya Bu Asita, Bu. Sama seperti Wulan yang kebagian tugas lomba pidato." "Oh! Nak Ezra pidato bahasa apa?" "Bahasa Inggris, Bu." "Wah, hebat sekali. Pasti Nak Ezra sangat pintar, ya?" "Ehehehe..." Ezra tersenyum malu-malu. "Tidak juga, kok, Bu. Ini hanya kebetulan saja karena saja orang kota jadi disangkanya bisa bahasa Inggris. Justru yang hebat itu Wulan yanag didapuk menjadi petugas pidato bahasa Arab. Pasti Wulan jago mengajinya." "Iya, alhamdulilah Wulan juga ditunjuk jadi yang ikut lomba." "Kalau begitu, saya boleh meminta ijin untuk berangkat bareng dengan Wulan?" "Gak mau!" Wulan langsung menolak mentah-mentah. Bu Mimin sedikit terkejut mendengar jawaban kilat dari putrinya itu. "Kenapa, Lan? Gak baik menolak ajakan teman kamu apalagi kamu pasang wajah ketus kayak gitu." "Pokoknya aku gak mau, Bu." "Kamu gak usah sungkan, Lan. Aku gak bakal pamrih, kok." Wulan membuang muka. Ia berjalan meninggalkan ibunya dan Ezra. "Nak Ezra, tolong maafkan sikap Wulan yang seperti itu, ya. Sebenarnya Wulan orangnya tidak seperti itu, kok. Dia hanya sedang kesal saja karena sudah seminggu ini kalau Wulan mau berangkat ke sekolah atau pergi ke mana saja selalu diganggu oleh para pemuda desa. Makanya hari ini rencananya ibu mau mengantar Wulan sampai dekat jembatan supaya para pemuda itu tidak mengikuti dan menggoda Wulan." "Ibu sekarang pulang saja, percayakan saja Wulan pada saya. Saya janji tidak akan membuat Wulan lecet barang satu helai rambut pun." Bu Mimin mengangguk pelan. Ia sangat percaya pada Ezra karena dirinya dulu pernah mendengar tentang kehebatan Ezra dalam bidang beladiri. "Kalau begitu ibu titip Wulan ya, Nak Ezra." "Baik, Bu." Sebelum kembali naik ke motornya, Ezra mencium tangan Bu Mimin lagi. Sambil mengucapkan salam, Ezra melajukan motornya dan mensejajarkan tubuhnya dengan langkah Wulan yang sedikit agak cepat jalannya. "Ayolah, Lan. Sini naik ke motor gue, daripada lo nanti digangguin sama preman kampung." Ezra terus-terusan membujuk Wulan supaya hatinya yang sekeras batu karang di lautan itu luluh. "Kamu itu gak usah ikut campur sama urusan orang. Mending kamu pergi duluan aja, sana! Aku gak butuh pertolongan kamu." Wulan tetap keukeuh pada pendiriannya. Jarak lima puluh meter ke depan, ada sekitar enam pemuda yang sedang tertawa-tawa sambil merokok. Di bawah kaki mereka terdapat banyak botol berwarna hijau tua. Tanpa menyebut merek, Ezra tahu itu apa. Itu adalah merek minuman keras level bawah, alias barang murah yang tidak tahu campurannya apa saja. Yang jelas cap anggur merah itu hanya namanya saja, aslinya tidak ada kandungan anggurnya sama sekali. Ezra menghentikan motornya saat Wulan makin memelankan langkahnya. "Lo yakni gak butuh pertolongan tebengan dari gue? Setelah gue membujuk lo kali ini yang terakhir dan lo nolak, gue bener-bener bakal ninggalin lo, Lan. Kesempatan itu gak datang dua kali kecuali gue yang ngasih kompensasi." Wulan menatap Ezra dengan pandangan ragu. Kalau Wulan menolak tawaran Ezra, bisa-bisa dirinya jadi mangsa para pemuda sampah itu. Tapi kalau dirinya menerima tawaran Ezra, maka harga dirinya, nilai gengsi yang dirinya punya, tembok beton keteguhan dirinya akan runtuh seketika. Tapi memang sepertinya Ezra ini adalah penolong dirinya setelah ibunya tadi menawarkan diri akan mengantar Wulan tapi tidak jadi gara-gara ada Ezra. Apakah itu berarti pengawalan dari seorang perempuan kurang kuat? "Lan, gue tanya sekali lagi. Lo mau gak pergi ke rumah Bu Asita bareng sama gue?" tanya Ezra. Wulan mengembuskan napas. dengan terpaksa dirinya menghancurkan gengsinya sendiri. "Tapi bener ya tumpangan ini gratis?" "Tentu aja, dong. Tapi kalau lo mau bayar juga gak apa-apa. Gak bakal gue tolak, kok. Lumayan dapat rezeki yang gak disangka-sangka." "Tapi nanti kalau pacar kamu marah kamu yang harus tanggung jawab, ya. Awas aja kalau besok ada [acar kamu yang ngelabrak aku lagi. Aku bakal kasih kamu serangga dan belalang yang banyak." "Ih, jangan galak-galak, dong. Jangan balas dendam. Gak baik. Masa pertolongan gue dibalas kejahatan, sih." "Ini cara naiknya gimana?" tanya Wulan. "Kaki kiri dulu naik ke step terus tangan lo pegangan ke bahu gue." Setelah Wulan naik ke atas motor Ezra dan memposisikan duduknya senyaman mungkin, Ezra menyuruh Wulan untuk mengambil sesuatu di dalam tasnya. "Ini." "Lo pake aja topi itu." "Kenapa aku harus pakai topi?" "Udah, pake aja. Itung-itung buat kamuflase." Wulan langsung memakai topi berwarna hitam milik Ezra yang sudah pasti harganya mahal. "Udah belum, nih?" "Udah." "Pegangan ya. Tapi pegangannya jangan ke behel, nanti yang ada lo jatuh ngejengkang. Kalau gak mau pegangan ke perut gue, lo pegang aja bahu gue. Oke?" "Iya." Wulan tidak berpegangan pada apa yang sudah Ezra sebutkan. Ia malah berpegangan pada tali tas milik Ezra. Ketika motor Ezra melewati perkumpulan pemuda beban masyarakat itu, Wulan langsung mengalihkan pandangannya ke arah kiri. Topi yang ia kenakan juga sedikit diturunkan ke depan, sementara rambutnya yang Wulan ikat itu dikesampingkan supaya wajahnya semakin tidak terlihat. Para pemuda itu berbicara ngelantur ketika Ezra dan Wulan melintas. Mereka samasekali tidak menyadari kalau orang yang sedang dibonceng oleh Ezra itu adalah Wulan, si kembang desa incaran mereka.
Download Novelah App
You can read more chapters. You'll find other great stories on Novelah.
the best
06/07
0love this
20/06
0Siok cerita ni
14/06
0View All