logo text

Chapter 17 Wulan Diganggu

Sekitar seminggu lagi acara lomba pidato tingkat kabupaten akan dilaksanakan. Ezra yang memang sudah hafal seluruh isi pidatonya itu kini tengah menikmati waktu santai dengan cara menghabiskan waktu istirahat di warung belakang sekolah sambil mengisap rokok favoritnya yang kata teman-temannya itu rokok orang elit karena harganya yang sangat tidak ramah kantong mereka.
Karena hari ini Dandi sedang mengikuti lomba pertandingan catur, jadi Ezra sendirian, sementara teman-temannya yang lain sedang sibuk dengan dunia mereka sendiri, sambil mengerubungi satu ponsel yang entah milik siapa. Ezra tidak mau ikut-ikutan nonton hal yang menyesatkan seperti itu.
Meskipun di sekolah Ezra ada larangan membawa ponsel, tapi itu bukan sebuah hambatan bagi mereka yang nekat, toh mereka membawa ponsel ke sekolah jarang dibawa ke kelas, tapi selalu disimpan di warung ini. Kalau untuk murid perempuan mungkin disembunyikan di kotak pensil atau di tempat persembunyian yang lain yang tidak bisa terpikirkan oleh para laki-laki.
"Zra, kamu dicariin sama Bu Wati," ucap salah seorang murid yang tidak diketahui namanya. Dilihat dari gaya murid itu, tipikal murid yang biasa saja, pintar tidak bodoh juga tidak, yang jelas menurut Ezra dia itu orangnya super kuper dengan penampilan yang lumayan culun. Tipe murid yang tidak pernah memberontak, yang paling menaati perintah dan peraturan dan rajin dalam segala hal, mungkin.
"Di mana Bu Wati-nya?" tanya Ezra sambil mematikan batang rokoknya yang sudah hampir habis.
"Di ruang tata usaha."
"Entar gue ke sana."
Murid itu mengangguk kemudian pergi karena salah satu teman Ezra mulai mencoba untuk memalak uang murid tersebut.
Sebelum Ezra pergi ke ruang tata usaha, terlebih dahulu ia mencuci tangannya dan tidak lupa menyemprotkan minyak wangi sedikit saja, hanya untuk menyamarkan bau asap dari rokok yang tadi diisapnya.
Sampai di ruang tata usaha, Ezra memberi salam dan disambut oleh para guru dan juga murid-murid yang ikut berlomba pidato. Ternyata hari ini ada pengetesan, makanya semuanya dikumpulkan.
Bu Wati menyuruh Ezra untuk pidato terlebih dahulu, sementara yang lain berkumpul di guru bidang masing-masing. Mendengar Ezra yang lancar sekali berbicara bahasa Inggris dan tidak ada satu kata atau kalimat pun yang tertinggal, Bu Wati merasa bangga pada anak metropolitan tersebut. Apalagi dengan kepercayaan diri Ezra yang sangat tinggi, menambah nilai plus baginya. Dan untuk partner Ezra, murid perempuan itu begitu gugup dan sesekali melihat teks pidato ketika lupa.
***
Sore hari sekitar memasuki waktu asar, kampung geger karena para pemuda pengganggu itu kembali meresahkan para warga. Ezra mendapatkan kabar kalau mereka mulai bermain fisik. Sebenarnya Ezra dari minggu lalu sudah geregetan ingin memberi pelajaran pada pemuda sampah masyarakat itu, tetapi ia menahan diri karena katanya orang-orang pegawai desa akan menindak mereka, tetapi sampai sekarang tidak ada kinerjanya.
Kebetulan hari ini Ezra sedang main di rumah Emin, sekaligus ingin melihat keseharian Wulan. Kedua anak remaja itu seketika terkejut melihat para gadis berlarian sambil menangis, apalagi wajah mereka yang menandakan sangat ketakutan. Emin dan Ezra segera mendatangi rumah Wulan karena rumah Wulan yang lebih dekat dari rumah teman-temannya yang lain yang hanya terhalang beberapa rumah saja.
"Ada apa, Lan?" tanya Emin.
Kedua orang tua Wulan juga sama kagetnya melihat ketiga anak mereka yang bergetar ketakutan.
"Kami diganggu oleh para pemuda itu. Malah tadi Warni hampir dibawa sama mereka. Untung ada Pak RT sebelah, jadi kami gak jadi diapa-apain," jawab Wulan ketika dirinya sudah mulai tenang.
"Tangan kamu kenapa, Lan? Itu juga lutut kamu kok lecet begitu?" tanya Bu Mimin.
Wulan tidak menjawab. Ia hanya diam dan menunduk, mencoba untuk menutupi luka di kakinya.
"Tadi Teh Wulan juga hampir mau dibawa sama para pemuda itu, Bu. Tapi kami berhasil mencegahnya. Malah uang pulsa kami juga dirampas sama mereka." Rukman yang menjawab. Sedangkan kedua kakaknya itu memelototinya karena adik bungsunya itu sudah melanggar janji.
Bu Mimin ikutan panik mendengar cerita anaknya. Beliau melemparkan pertanyaan bertubi-tubi pada Wulan, beliau sangat takut anak gadis sulungnya itu mendapatkan pelecehan.
Ezra mengepalkan tangannya. Ia membuang muka dan menatap tajam pada jalanan berbatu yang berada tepat di depan rumah Wulan. Sekarang, Ezra benar-benar emosi dan ingin sekali meluapkan amarahnya.
***
"Den, bangun. Sudah siang. Nanti terlambat sekolah." Ceu Itoh mengetuk pintu kamar Ezra.
Ezra yang masih berbaring di tempat tidur hanya menggeliat kemudian menjawab dengan suara parau, "Hari ini Ezra gak masuk sekolah, Mbok. Ezra lagi gak enak badan."
"Aden sakit apa? Ayo kita periksa ke dokter," ucap Ceu Itoh dengan nada penuh kekhawatiran.
"Gak usah, Mbok. Badan Ezra cuma agak panas dikit. Mungkin kecapean. Dibawa tidur aja nanti juga sembuh, kok."
"Kalau gitu Mbok gak pergi ke kebun, ya? Mau jagain Aden."
"Gak usah, Mbok. Ezra gak usah dijagain." Ezra membuka pintu kamarnya dengan masih berpenampilan acak-acakan khas bangun tidur.
Ceu Itoh menempelkan punggung tangannya ke kening Ezra. "Agak panas," gumamnya. "Aden ada pusing gak?"
"Sedikit, Mbok.... Mbok gak usah khawatir, Ezra baik-baik aja, kok."
"Gak apa-apa, nih, Den, mbok tinggal?"
"Gak apa-apa, Mbok. Ezra bukan anak kecil lagi."
"Ya sudah kalau begitu. Mbok tinggal dulu ke kebun, ya. Kalau Aden mau makan, makanannya ada di meja sama di lemari, sengaja mbok umpetin biar gak dibawa kucing."
Ezra mengangguk. Setelah mengantar Ceu Itoh ke depan, Ezra langsung menutup pintu dan pergi ke kamar mandi. Mencuci mukanya kemudian mulai sarapan. Selesai sarapan, Ezra memasak air untuk mandi. Hari ini dirinya tidak bisa mandi memakai air dingin. Membuka bajunya, Ezra melihat sekujur tubuhnya yang ada beberapa luka lebam. Luka ini ia dapatkan ketika berkelahi dengan para pemuda biang onar itu. Untung saja wajahnya tidak kena pukulan, kalau kena pasti wajah tampannya itu tidak mulus lagi dan Ceu Itoh pasti histeris parah saat mengetahui kalau Ezra sudah baku hantam.
Ponsel Ezra berdering, ada seseorang yang meneleponnya. Ezra mematikan kompor gas karena airnya sudah mendidih. Dengan buru-buru, Ezra mengangkat telepon tersebut yang ternyata dari paman temannya yang seorang polisi intelijen.
Terlihat Ezra sangat serius berbicara melalui telepon. Sesekali kepalanya mengangguk dan Ezra mengembuskan napas panjang. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Sepertinya suatu hal yang penting.
Selang lima menit kemudian, ezra memutuskan panggilan teleponnya. Ia kemudian menyimpan ponselnya lalu membawa panci berisi air panas tersebut ke kamar mandi.
***
Sepanjang hari ini Ezra menghabiskan waktu dengan berbalas obrolan via BBM dengan teman-temannya yang di kota. Kadang juga Ezra bermain game di laptopnya. Ketika bosan Ezra tidur kadang juga menonton televisi yang isi acaranya tidak ada yang menarik sama sekali.
Menjelang waktu dzuhur, Jajang sudah pulang sekolah. Jajang terlihat sedikit terkejut saat Ezra membukakan pintu untuknya.
"Lho? Akak nggak sekolah?" tanya Jajang.
"Nggak. Aku agak nggak enak badan."
"Oh." Jajang mengangguk mengerti. Ia lalu pergi ke dapur untuk mengambil minuman dingin.
"Tadi di jalan kamu ketemu sama preman-preman itu, gak?"
Kepala Jajang menggeleng. "Nggak, Kak. Tadi pagi juga gak ketemu. Ke mana ya, mereka? Tumben banget gak ada nongkrong."
"Gitu, ya?" Ezra bergumam. Sekarang Ezra tinggal menunggu kabar dari teman-temannya yang sering pulang sore. Apakah mereka melihat para pemuda meresahkan itu?

Book Comment (51)

  • avatar
    Norzatul Aqma

    the best

    06/07

      0
  • avatar
    BalayongJovita

    love this

    20/06

      0
  • avatar
    Adijah Taif

    Siok cerita ni

    14/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters