Chapter 18 Khawatir?

Akhir-akhir ini setelah para pemuda yang selalu meresahkan warga itu tiba-tiba hilang bagaikan ditelan bumi, Ezra menjadi orang yang sok super sibuk. Setiap kali ada orang yang mau mengobrol atau menanyakan sesuatu, Ezra selalu menghindar dengan alasan sangat sibuk dengan tugas-tugas dari sekolah juga ia beralasan kalau dirinya sedang fokus untuk lomba minggu depan.
Seperti sekarang, Ezra mengabaikan Wulan yang saat ini sedang duduk di sebelahnya. Biasanya tiap kali dekat atau bertemu dengan Wulan, Ezra tidak pernah tidak mengganggu atau menggoda Wulan sampai gadis itu kesal setengah mati.
Wulan merasa aneh dengan sikap Ezra yang tenang, acuh dan seolah tidak peduli dengan sekitarnya. Apa karena sebentar lagi hari lomba Ezra jadi sangat fokus dan gelisah?
"Gue tahu gue ganteng. Gak usah ngeliatin gue kayak gitu, dong. Lo terpesona ya sama kegantengan gue?" Ezra berbicara pada Wulan tanpa menoleh sama sekali. Mata Ezra sedang sibuk membaca teks pidatonya.
Wulan sedikit gelagapan. Tetapi ia dengan baik menyembunyikan rasa malunya dengan berubah menatap tajam Ezra. "Aku tuh bukan terpesona sama kamu, ya. Jangan kepedean. Aku cuma melihat dengan teliti di bawah pinggir dagu kamu ada warna merah kayak noda lipstik."
Kening Ezra mengernyit. Ia kemudian mengelap dagunya dengan tangan. "Ini bukan lipstik, Lan. Tapi saos," ucap Ezra sambil menunjukkan telapak tangannya yang sekarang berwarna kemerahan.
Ezra menatap Wulan yang memasang wajah tidak percaya. "Meskipun gue bad boy dan playboy, tapi gue gak sebejad itu buat ngerusak cewek. Gue masih tahu norma dan aturan, tahu batas-batas apa yang belum boleh dilakukan."
"Omongan cowok emang kayak gitu semua."
"Nih, hirup aja kalau gak percaya." Ezra mendekatkan telapak tangannya ke hidung Wulan. Memang aroma dari tangan Ezra itu baunya seperti saos sambal. "Tadi bakso pesenan si Kiki tumpah, terus botol saos si abang baso susah banget buat keluarnya, alhasil pas dipencet keluar ke mana-mana," lanjut Ezra.
Pantas saja Ezra memakai kaos olahraga kelas dua belas. Ada beberapa murid kelas sepuluh dan sebelas juga yang memakai kaos tersebut, mungkin mereka juga korban dari botol saos itu. Ah iya, tadi Wulan sempat melihat baju seragam yang dijemur di parkiran motor.
"Lo cemburu ya?"
Wulan mengernyit. "Cemburu kenapa?"
"Cemburu karena dikiranya gue ada main sama cewek. Tenang aja, Lan. Meskipun gue banyak pacarnya, tapi yang bakal gue nikahin nanti itu elo, kok." Ezra mengedipkan matanya genit.
Wulan bergidik. Menyesal juga karena dirinya yang lebih dulu seperti ingin mengajak memulai pembicaraan. Padahal dirinya sudah merasa tenang karena Ezra hari ini bersikap kalem. Tapi ternyata hanya sesaat.
"Teh Arni, tukeran tempat duduk."
"Kalian itu kan calon pengantin, duduknya jangan jauh-jauh. Aku gak mau nanti disangka orang ketiga yang merusak hubungan rumah tangga kalian, ya."
"Iiih... Teh Arni mah." Wulan cemberut. Meskipun Arni menolak untuk bertukar tempat duduk, tetapi Wulan nekat pindah duduk dan kebagian kursi yang hanya mampu menampung seperempat bokongnya.
Arni tertawa melihat tingkah Wulan yang sedang kesal karena diisengin oleh Ezra dan juga dirinya.
***
Pulang sekolah, murid yang akan lomba langsung disuruh pulang, tidak harus latihan lagi karena sekarang sedang hari tenang.
Wulan sudah berjalan keluar kelas bersama para teman-temannya yang jalan rumahnya searah. Di koridor lantai pertama yang menghadap langsung ke arah parkiran bawah, Wulan melihat Ezra yang sedang melipat seragamnya yang tadi sedang dijemur dan di masukkan ke dalam tas ranselnya yang sangat bagus.
Omong-omong tentang seragam dan baju olahraga, Wulan jadi teringat dengan kejadian beberapa hari yang lalu saat kelas Ezra sedang ada pelajaran olahraga. Kebetulan saat itu Wulan dan Kemala sedang ijin untuk ke toilet dan di lapangan olahraga Wulan melihat murid kelas Ezra sedang berolahraga di lapangan yang berbeda. Yang menarik perhatian Wulan adalah ketika Ezra sedang mengelap keringat dari tubuhnya menggunakan handuk kecil.
Ezra saat itu melepaskan kaos olahraganya, walaupun terlihat samar, tapi Wulan sempat melihat beberapa luka lebam di bagian-bagian tubuh Ezra. Bahkan teman-teman Ezra menanyakan tentang luka lebam tersebut. Meskipun Ezra menjawabnya dengan guyonan, tapi saat salah satu teman Ezra menyentuh luka lebam tersebut, Ezra sempat meringis bahkan berteriak kesakitan.
Kira-kira Ezra kenapa, ya? Apakah Ezra berkelahi dengan anak kelas sebelah atau dengan kakak kelas yang waktu itu pernah kalah duel dengan Ezra?
Wulan tiba-tiba memalingkan wajahnya ketika Ezra menoleh dan menatap wajahnya. Langkah kaki Wulan juga sedikit ia percepat supaya cepat-cepat keluar dari sekolah. Temannya merasa heran karena melihat Wulan yang mendadak terlihat seperti sedang terburu-buru.
"Lan, kamu gak lupa kan kita hari ini mau jajan dulu ke warung Teh Nani?" tanya Endah.
Wulan menoleh. "Iya, gak lupa, kok."
Motor trail KLX milik Ezra melaju melewati mereka dengan membonceng pacar pertama Ezra di sekolahan ini. Semua orang memperhatikan dua sejoli itu yang terlihat cukup serasi.
Sia-sia saja aku tadi malah salah tingkah dan kabur, batin Wulan.
"Padahal sebentar lagi mau ujian nasional, tapi masih sempat-sempatnya buat pacaran," ucap Kemala.
Tati menimpali, "Sebentar lagi juga pasti bakal diputusin terus cari yang baru yang bisa diajak main sana-sini. Aku yakin Ezra gak mau pacaran jarak jauh."
"Lho, emang Ezra pacaran sama mereka bener-bener suka, gitu? Ezra itu cuma mempermainkan mereka. Dia pacaran tanpa ada rasa suka samasekali."
"Jangan ngomong gitu, Kem. Nanti kalau salah satu pacar Ezra ada yang denger bisa habis kamu."
Kemala langsung mengatupkan bibirnya. Hmmm... kebiasaan Kemala ini memang kalau bicara jarang difilter terlebih dahulu.
Teman-temannya Wulan kembali membicarakan Ezra. Mereka sebenarnya tahu apa yang sudah terjadi pada Ezra di kota metropolitan sana. Bahkan mungkin orang sekampung sudah tahu. Tapi karena Ezra bersih dan tidak bersalah sama sekali, makanya ketika Ezra pindah sekolah, pihak sekolah mau menerimanya. Orang-orang di kampung pun tidak mengucilkan Ezra atau mengusirnya karena tahu Ezra itu anak baik.
Wulan mengembuskan napas panjang. Meskipun lomba dua hari lagi dan dirinya sudah hafal semua isi pidatonya, tapi serangan gugupnya sudah menyerang Wulan dari sekarang meskipun sekarang adalah hari tenang.
Di warung Teh Nani, para gadis itu membeli berbagai macam camilan kering. Mungkin hanya Wulan saja yang tidak jajan banyak. Wulan lebih memilih membeli obat anti mabuk kendaraan dan minuman pengganti cairan tubuh.
"Lan, beli itu kan bisa besok atau pas hari H-nya," ucap Imas.
"Gak bisa. Aku lagi resah, nih. Makanya beli dari sekarang biar nanti gak lupa."
"Kamu yang mau lombanya tapi malah aku juga yang kena rasa gugupnya." Tati menepuk-nepuk punggung Wulan. "Semangat ya, Lan. Kalau nanti kamu menang, kamu jangan lupa buat traktir kita-kita."
"Oke!" Wulan mengangguk semangat.
Wulan memang berambisi untuk menang, soalnya rumor yang beredar kalau mendapatkan juara dalam lomba, bukan hanya mendapatkan piala untuk sekolah saja, tetapi juga jika menjadi juara satu akan mendapatkan amplop yang berisikan uang yang nominalnya cukup untuk kebutuhan sekolah selama dua bulan. Tapi jika nanti Wulan menang, uang tersebut akan dibagi-bagi untuk kebutuhan sekolah dirinya dan juga adik-adiknya. Bahkan untuk kebutuhan dapur rumah juga supaya mereka bisa tetap makan.

Book Comment (51)

  • avatar
    Norzatul Aqma

    the best

    06/07

      0
  • avatar
    BalayongJovita

    love this

    20/06

      0
  • avatar
    Adijah Taif

    Siok cerita ni

    14/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters