Homepage/Cowok Metropolitan Masuk Kampung/
Chapter 6 Melarikan Diri
Namanya Wulan Cayarini, anak kelas X-1. Wulan ini teman semasa kecil dari Emin, pantas saja Emin tahu nomor telepon gadis itu tetapi Emin tidak memberikan nomor telepon Wulan padahal dari kemarin Ezra memintanya. Alasannya karena Emin memang tidak pernah membawa ponsel ke sekolah, ditulis di secarik kertas saja katanya lupa.
Ezra tidak meminta nomor Wulan pada teman-temannya yang lain, yang ada nanti malah geger, soalnya Ezra sudah mengantongi nomor telepon cewek-cewek yang kecentilan padanya, nanti kalau tahu Ezra juga mendekati Wulan, bisa-bisa Wulan yang kena masalah, dimusuhi oleh murid-murid hits itu.
Kenapa Ezra tidak meminta langsung nomor telepon pada orangnya? Jawabannya sudah, tetapi Wulan sama sekali tidak menggubrisnya dan tidak terlihat tertarik sama sekali. Itulah yang membuat Ezra geregetan setengah mati karena ingin sekali segera menaklukkan cewek jutek itu.
"Airnya agak bau gak, sih?" tanya Ezra ketika dirinya di hari Minggu pagi sedang menimba air untuk mencuci pakaiannya.
Tiga hari yang lalu semua baju kotor dicuci oleh Ceu Itoh, dan sekarang apa-apa Ezra harus melakukannya sendiri karena ternyata selama ini mamanya mengawasi Ezra dan menanyakan kegiatan Ezra setiap hari pada Jajang, si anak yang tidak bisa berkata bohong.
"Iya, agak bau bangkai," jawab Jajang sambil mengendus air di ember timba. "Sepertinya ada tikus atau katak terjebak di dalam sumur."
"Apa?!!" Ezra berseru kaget. Ia langsung melemparkan ember tersebut ke tanah dan airnya langsung tumpah berserakan. "Yang bener? Ih jorok banget, huek!"
"Sudah sering, kok, seperti ini. Tadi malam bapak mungkin lupa menutup sumur, makanya hewan-hewan bisa masuk."
"Terus kita nanti makan, minum, mandi, nyuci airnya dari mana?"
"Kita ke empang. Atau kita timba di dekat kebun singkong di dekat rumah Surya."
"Rumah Surya jauh gak?"
"Dekat empang terus lurus aja, yang rumahnya di belakang sawah."
Ezra membereskan baju kotornya ke dalam ember. "Antar gue ke sana."
Jajang mengangguk. Ia juga menjinjing ember berisi baju kotor miliknya. Karena kebetulan hari ini Mang Dasa dan Ceu Itoh sedang pergi ke sawah karena sekarang musim menanam padi, makanya sekalian Jajang laporan perihal ada bangkai hewan di dalam sumur. Jadi nanti pas pulang dari sawah, Mang Dasa bisa memberitahukan pada tukang sumur untuk membantu menguras sumur supaya steril kembali.
"Mana sumurnya, Jang?" tanya Ezra ketika sudah sampai tetapi tidak menemukan sebuah sumur yang dimaksud Jajang. Yang ada hanya sebuah lahan cor-an sebesar lima kali lima meter dan sebuah papan penggilasan yang terbuat dari kayu, ada juga yang dari batu.
"Itu, Akak Ezra, yang besi itu." Jajang sudah duluan berada di lahan cor-an itu sambil melepaskan sandalnya.
"Ini yang kayak monumen apa?" tanya Ezra yang penuh dengan rasa penasaran dan keheranan.
"Ini namanya pompa air. Akak Ezra tinggal tarik ini kayak lagi pompa ban, terus lama kelamaan juga nanti airnya muncul." Jajang mempraktikkan duluan. Karena pompa air tangan itu sudah lama dan banyak karatan, makanya agak susah untuk digerakkan.
Setelah mengeluarkan banyak tenaga, akhirnya Jajang berhasil memompa dan air tersebut keluar dengan deras juga jernih.
"Oh, gitu." Ezra manggut-manggut mengerti.
Sementara Jajang sudah mulai mencuci pakaiannya, Ezra mengamati apa yang anak kecil itu lakukan. Di selokan yang airnya jernih, letaknya tidak jauh dari rumah Surya, ada beberapa ibu-ibu dan anak-anak seusia Ezra sedang mencuci pakaian dan piring.
Ezra dengan cermat mengamati bagaimana cara orang-orang mencuci baju. Bukannya Ezra tidak yakin dengan apa yang Jajang lakukan, soalnya Jajang itu masih kecil, anak laki-laki pula. Pasti untuk masalah kebersihan sangat jauh berbeda dengan ibu-ibu. Tapi ternyata, cara mencuci Jajang cukup sama dengan yang ibu-ibu itu lakukan, bedanya ibu-ibu itu ada yang mencuci menggunakan sikat.
"Airnya segini, deterjen-nya segini, kucek-kucek sampai berbusa, masukkan baju yang sudah basah terus kucek-kucek lagi sambil diaduk-aduk, terus gilas di atas batu ini," gumam Ezra.
Jajang yang mendengar suara Ezra itu hanya bisa menahan tawanya. Sekuat tenaga ia merapatkan bibirnya supaya tidak kelepasan.
Selama mencuci, Ezra banyak mengembuskan napas saking pegalnya. Dan kini giliran membersihkan cucian, Ezra yang bertugas memompa air karena tidak tega pada Jajang.
"Pindah aja ke empang sana, yuk! Mumpung lagi kosong."
Jajang mengangguk saja dan mengikuti Ezra.
Karena air pancurannya cukup besar, jadi membersihkan cucian tidak begitu sulit.
"Kamu pergi ke luar, gih. Jaga. Gue udah gak kuat kebelet, nih."
Jajang kembali mengangguk. Ia membelakangi empang karena Ezra ingin buang air. Saat sedang buang air pun Ezra merasa tidak nyaman, takut ada orang yang melihat atau datang. Kalau bukan karena kepepet, Ezra sungguh sangat tidak mau buang air di sini, soalnya kelihatan banget bom nyemplung ke dalam kolam.
"Yuk, pulang," ucap Ezra setelah selesai dengan panggilan alamnya.
"Sebentar, Jajang juga sakit perut. Kalau Akak Ezra mau pulang, gak apa-apa, kok, Jajang ditinggal."
"Ya udah sana duluan, gue tunggu di sini."
Sambil menunggu, Ezra mencoba memotret pemandangan sawah yang ada di depannya. Tapi begitu berbalik ke arah kanan, Ezra langsung kaget seketika saat melihat Wulan tepat berada di depannya, dengan jarak yang kurang dari sepuluh meter.
"Mampus!" ucap Ezra dalam hati. Merutuki dirinya yang terlihat tidak keren sama sekali.
***
"Ezra! Ezra! Ezra!"
"Den Ezra! Den Ezra! Den Ezra!"
"Akak Ezra! Akak Ezra! Akak Ezra!"
Ezra yang sedang merenung di bawah pohon mahoni sambil mengisap rokoknya dan menatap langit perkampungan yang gelap cerah dari sinar rembulan dan bertabur bintang itu menolehkan kepalanya saat samar-samar mendengar suara yang memanggil namanya.
"Paling itu halusinasi gue," ucapnya pelan.
Ezra mengembuskan napas. Sore tadi setelah makan, Ezra langsung pamitan pada Mang Dasa dan Ceu Itoh, Ezra bilang ia akan pergi ke pasar untuk membeli sesuatu, padahal aslinya Ezra akan melarikan diri alias kabur ke Jakarta.
Sayangnya, di tengah jalan Ezra tersesat. Ezra lupa lagi jalan yang dilaluinya saat datang dulu. Dan pada akhirnya, Ezra terdampar di jalanan becek dan berbatu yang di samping kanan dan kirinya adalah perkebunan, bisa dibilang mirip hutan saking rindangnya pepohonan di sini.
Alasan kenapa Ezra tidak nekat melanjutkan perjalanan dan mencari jalan lain karena mamanya meneleponnya dengan suara yang amat murka, ternyata mamanya mendapatkan laporan dari Mang Dasa kalau sudah jam setengah tujuh Ezra tidak kunjung pulang, selain itu tas dan baju-bajunya yang ada di lemari hanya tersisa tiga setel pakaian dan seragam sekolah saja.
Alasan yang kedua yaitu karena motornya kehabisan bahan bakar, juga Ezra beberapa kali terjatuh gara-gara terjalnya jalanan ini.
Sebab musabab Ezra ingin kabur dari kampung karena ia sangat tidak betah tinggal di sini, bayangkan saja, Ezra yang anak gaul hobi nongkrong tiba-tiba berubah menjadi anak rumahan yang setiap hari hanya rebahan di kamar, Ezra berasa berubah menjadi anak yang culun banget, kuper alias kurang pergaulan. Selain itu masalah makanan, Ezra tidak terbiasa makan seadanya. Sebelum ke kampung, Ezra yang setiap hari ia makan itu empat sehat lima sempurna. Setiap hari yang dimakan itu daging dan daging. Makan yang enak-enak dan mewah pokoknya. Dan masalah yang utama, tentu saja masalah air.
Setiap hari ketika ingin mandi atau buang air harus menimba dulu, sebagai anak yang setiap akhir pekan pergi ke tempat gym, bukan masalah besar untuk Ezra karena menimba air di sumur hitung-hitung sebagai pengganti angkat barbel. Tapi jika keadaan sedang darurat, menimba air di sumur itu tidak bisa diajak kompromi, seperti kejadian tadi pagi saat Ezra harus terpaksa buang air di empang dan dilihat oleh orang-orang.
Asli! Ezra malu pakai banget! Saking malunya, Ezra jadi ingin pergi saja dari kampung ini dan gak balik-balik lagi. Titik!
"Akak Ezra!"
"Ezra!"
"Emak! Pak! Akak Ezra sudah ketemu di sini!"
Ezra menatap dua orang yang berdiri di depannya sambil menerangi wajah Ezra dengan senter yang membuat mata Ezra silau.
"Ezra, kamu kenapa gak pulang-pulang? Orang-orang di rumah panik nyariin kamu, lho."
"Elo beneran Emin, kan?" tanya Ezra sambil menatap wajah Emin dengan penuh selidik. Takut-takut jika nanti yang dihadapinya ini adalah Emin jadi-jadian.
"Iya, ini aku Emin. Teman sebangku kamu."
"Akak Ezra kenapa pergi dari rumah?" tanya Jajang.
Ezra membuang puntung rokok yang sudah hampir habis. Ia diam-diam mencubit lengannya yang kebas karena hawa dingin malam. Ah, ternyata rasanya lumayan sakit juga. Berarti ini bukanlah halusinasi.
"Deeennn!" Ceu Itoh berlari kemudian memeluk tubuh Ezra. Sambil menangis terisak, Ceu Itoh menanyakan pertanyaan yang sama seperti Emin dan Jajang yang belum sempat dijawab oleh Ezra.Download Novelah App
You can read more chapters. You'll find other great stories on Novelah.
Book Comment (51)
Share
Related Chapters
Latest Chapters
the best
06/07
0love this
20/06
0Siok cerita ni
14/06
0View All