Sekolah tiba-tiba dihebohkan oleh Ezra yang datang ke sekolah dengan membonceng seorang murid yang merupakan kakak kelasnya di kelas sebelas. Siapa lagi kalau bukan Febri, kakak kelas hits yang menjadi salah satu primadona sekolah. Dengan dibonceng motor sport yang keren abis karena hanya Ezra satu-satunya yang punya, dibonceng oleh cowok super ganteng dan keren yang berasal dari kota, hidup Febri bagaikan ketiban durian runtuh. Rezeki ini punya pacar yang bisa membuatnya seperti ratu sejagat dan membuat para kaum hawa iri. Kaum adam juga iri karena si anak baru dari kota itu bisa dengan cepat menaklukkan Febri hanya dalam waktu kurang dari dua minggu. "Kamu beneran pacaran sama Teh Febri, Zra?" tanya Emin begitu Ezra sudah duduk di sebelahnya. Karena Emin ini jenis murid yang selalu datang paling pagi, jadi ia bisa langsung mendengar kasak-kusuk gosip dari orang-orang yang datang setelahnya. "Iyalah, makanya gue bisa boncengin dia ke sekolah. Ternyata gampang juga buat dapetin dia." "Ezra, tapi setahuku Teh Febri itu pacaran sama Kak Ade," ucap Nisa, murid yang duduk tepat di depan meja Emin dan Ezra. "Lo belum tahu, ya? Dia, kan, udah putus seminggu yang lalu." "Pasti Teh Febri mutusin Kak Ade gara-gara kamu, kan?" "Kayaknya." Ezra mengangguk pelan. "Aku dengar, kamu juga deketin anak-anak dari kelas sebelah, ya? Mereka pada patah hati, tuh, gara-gara kamu permainkan." "Yaelah, gitu aja sampai diseriusin. Tapi meskipun mereka patah hati, tapi tetep aja mereka masih nempel-nempel ke gue. Masih seneng waktu gue kirimin SMS. Gue yakin, deh, mereka bakal bersuka rela buat dijadiin yang kedua dan ketiga dan seterusnya." Nisa dan Emin geleng-geleng kepala. Mata Ezra tidak sengaja menangkap sosok Wulan yang kebetulan sedang berjalan di koridor depan kelasnya sambil membawa ember dan pel-an. Ezra mengembuskan napas lega. Ternyata tidak seperti dugaannya, Wulan menepati janji tidak menyebarkan aib Ezra karena sampai sekarang Ezra tidak mendengar gosip miring tentang dirinya. Sebenarnya rencana membonceng Febri hari ini benar-benar dadakan, untuk mengantisipasi gosip itu menyebar. Jadi untuk mengalihkan isu tersebut, Ezra sengaja menjadikan Febri sebagai tamengnya. "Kamu juga naksir sama Wulan, ya?" tanya Nisa. Emin menatap Ezra dengan penasaran. Sejak saat Ezra menanyakan nomor telepon Wulan, isi kepala Emin banyak dipenuhi oleh pertanyaan dan prasangka lain. Meskipun Emin sudah melarang Ezra untuk tidak mengganggu atau mendekati Wulan, tapi Ezra sama sekali tidak menggubris perkataan Emin itu. Emin bukannya cemburu ketika Ezra hendak mendekati Wulan, tapi Emin merasa tidak ikhlas saja sahabatnya itu jadi korban perasaan dari Ezra, si cowok kota yang keren abis. "Kenapa emang?" Ezra malah balik bertanya. Apakah gerak-gerik Ezra selama ini sudah terbaca oleh orang-orang? "Dia jadi bahan gosip satu sekolah, lho." Ezra menatap Nisa penuh minat. Akhirnya dirinya punya kelemahan dari Wulan. "Ini semua berawal dari kamu yang ngajak ngobrol Wulan waktu pas di lapangan mau upacara." "Apa hubungannya sama gue?" "Para fans kamu yang iri dengki. Bahkan dia sampai dilabrak sama pacar kamu dan teman-temannya. Tapi untungnya Wulan itu orangnya kuat, jadi dia gak takut pas ngelawan pacarmu itu. Kamu juga ikut menjelaskan ke pacarnya Ezra kan, Min?" Emin mengangguk. Ezra kembali mengingat percakapannya dengan Wulan hari Senin lalu, ternyata yang dimaksud Wulan itu tentang hal ini. "Kamu kalau mau selingkuh, harus berguru ke Kak Deden. Dia hobi banget selingkuh tapi para pacarnya itu gak pernah melabrak satu sama lain." Ezra memang tidak pernah berselingkuh, dia tipe cowok yang setia abis. Buktinya dulu dengan Feodora ia berpacaran hampir empat tahun. Iya, mereka berpacaran ketika masih kelas satu sekolah menengah pertama dan selama itu Ezra tidak pernah neko-neko dengan cewek lain. Baru kali ini Ezra punya selingkuhan dan gebetan yang banyak. Alamat nanti Ezra dibombardir pertanyaan oleh para simpanannya. *** "Min, hari ini kita main, yuk! Gue suntuk, nih, udah dua mingguan gak jalan-jalan. Bosen gue ngerem terus di rumah." "Maaf, Zra. Aku gak bisa main. Harus bantu bapak aku di sawah." Ezra mengecek jam di arlojinya. "Sekarang baru jam dua kurang seperempat. Bisalah bentaran doang." "Maaf banget, Zra. Gak bisa. Garapan sawah bapak aku masih banyak, belum lagi aku cari rumput buat sapi dan kambing." "Kalau sore?" "Aku pulang dari sawah suka sampai jam lima sore, Zra. Kalau malam langsung belajar terus tidur biar besoknya bisa bangun pagi-pagi buat ngambil air." "Gitu, ya?" Ezra mengangguk mengerti. "Kalau lo gak bisa gue ajak main, lo bisa ngasih rekomendasi kafe atau restoran atau tempat nongkrong anak-anak muda, gitu?" "Di kampung mana ada kafe atau restoran atuh, Zra. Anak-anak muda di sini nongkrongnya di pos kamling, di saung, di sungai, di pinggir sawah, di ladang. Mentok-mentok kita nongkrong di warung kopi pinggir jalan, kalau nggak di warnet di pasar kecamatan." Ezra menghela napas. Ia lupa kalau di kampung itu bisa dikatakan ketinggalan zaman. Jadi, jika mau mencari tempat yang gaul dan trendy, ya akan sulit untuk ditemukan. Kalau pun ada, tempatnya sangat jauh bisa saja di kabupaten atau di kecamatan yang lain. Kalau seperti ini, gagal sudah Ezra akan mengajak jalan-jalan pacarnya. Gagal deh Ezra menyusuri jalanan yang sering ia lalui hanya sendirian. Apa rencana mengajak main pacarnya ia batalkan saja? "Gue boleh main ke rumah lo gak?" "Boleh. Tapi jangan sekarang. Aku lagi sibuk." "Gue anterin lo pulang biar kapan-kapan gue bisa main ke rumah lo." "Gak apa-apa, nih? Nanti pacarmu marah." "Tenang aja. Gak bakalan marah, kok. Kalaupun marah, gue gak peduli, sih." Emin bukan hanya kali ini saja dibonceng oleh Ezra. Sudah sering Emin dibonceng tapi setiap pulang sekolah saja, itu pun sampai di dekat dam sawah yang sering dilalui oleh mereka jika akan pergi ke sekolah. Agak gugup juga setiap Emin naik motor sportnya Ezra, soalnya ini pertama kali Emin naik motor super mahal. Meskipun begitu, Emin tidak suka naik motor sport, soalnya pinggangnya suka sakit karena jok belakang yang super tinggi. Emin lebih menyukai naik motor trail Ezra, lebih nyaman saja. Sebelum mengantar Emin ke sawah, Ezra lebih dulu pulang ke rumah untuk mengganti pakaiannya. Rencana hari ini ia akan ikut ke sawah, kata Emin sawah miliknya dan sawah milik Mang Dasa tidak jauh tempatnya. Setelah berpakaian biasa tapi pakaiannya bagus dan harganya mahal, dari merek ternama juga, Ezra memarkirkan motor KLX trail-nya. Mau ke sawah kok pakai motor sport, sih. Nanti kalau ada yang nekat maling gimana? Apalagi motor sport tidak cocok dibawa ke jalanan yang berbatu. Lima menit kemudian, mereka sampai di rumah Emin. Ezra tidak ikut masuk ke dalam karena ia sekarang sedang mengamati rumah-rumah di sekitarnya. Ia mencoba menebak-nebak yang manakah rumah Wulan? "Itu hape lo, Min?" tanya Ezra saat melihat Emin memasukkan sebuah ponsel yang sangat tebal ke dalam tas selempang miliknya. Emin juga memakai baju belel yang menurut Ezra baju itu sudah tidak layak pakai dan cocoknya dijadikan sebagai lap saja. "Iya." Emin menatap Ezra dengan sedikit malu. "Hapeku jelek banget ya, Zra?" Bukan, bukan Ezra bermaksud menghina Emin. Tapi dirinya merasa aneh saja di tahun 2013 ini ternyata masih ada orang yang memakai ponsel berlayar monophonic. Kalau di kota pastinya mungkin sudah jarang ada yang memakai ponsel bertipe retro tersebut, kecuali abang-abang konter yang sering jualan pulsa. Ponsel jadul begitu mana bisa dipakai internetan, bluetooth dan MP3 saja tidak ada, bahkan kamera juga tidak ada. Lalu, setiap ada tugas dari sekolah Emin selalu bagaimana? Apakah Emin selalu nebeng ke ponsel temannya yang sudah lumayan canggih? Yang ada sistem java misalnya, soalnya menurut pengamatan Ezra, rata-rata orang-orang di sekolah bahkan hampir semuanya belum ada yang menggunakan ponsel bersistem android atau blackberry, sistem iOS apalagi. Benar-benar diluar dugaan.
Download Novelah App
You can read more chapters. You'll find other great stories on Novelah.
the best
06/07
0love this
20/06
0Siok cerita ni
14/06
0View All