Motor trail KLX milik Ezra terparkir di kebun sepetak yang teduh dan dipinggirnya ada selokan kecil. Selain motor Ezra, ada beberapa motor yang lain termasuk motor Mang Dasa. Langkah kaki Ezra mengikuti pijakan kaki Emin yang sangat luwes berjalan di atas galengan sawah yang tanahnya agak lembek karena ini musim menanam padi, jadi semua sawah dipacul dan dialiri oleh air dari sungai irigasi. Emin berhenti di sebuah petakan sawah yang belum dipacul, masih banyak rumput liar yang tumbuh di sana. Emin langsung mengeluarkan celurit dan mulai menyambit rumput-rumput yang terlihat hijau dan segar tersebut. Ezra memilih untuk duduk di sebuah batu berukuran sedang. Tangannya sibuk membidikkan kamera ponselnya untuk memotret pemandangan yang menurutnya sangat indah. Sekalian nanti foto tersebut ia kirimkan ke mama dan papanya. Pasti mereka mengiri melihat Ezra bisa bermain di sawah yang dari dulu sangat diidam-idamkan oleh mereka berdua. "Kapan-kapan kamu mau ikut aku ke sawah yang ada di daerah lain gak? Di sana sawahnya sudah hampir memasuki musim panen. Pemandangannya bagus, lho, soalnya padinya sudah mulai menguning. Apalagi pas mau sore, sinar matahari di atas padi keren banget, lho," ucap Emin sambil memasukkan rumput ke dalam karung. "Jangan masuk ke sawahnya tapi. Gue ogah kena jerami, soalnya suka langsung gatel-gatel." "Nggak, dari pinggir jalan, kok." Ezra turun ke bawah dan mulai membidik air terjun yang orang-orang di daerah sini menyebutnya Curug Luhur. Airnya tidak terlalu deras karena semuanya dialirkan ke sungai irigasi. Saat Ezra sedang sibuk menatap sekelilingnya, matanya tidak sengaja menangkap sesosok makhluk yang sangat dikenalinya yang baru saja menginjakkan kaki ke dalam petakan sawah yang basah dan berlumpur. Menyipitkan mata, ternyata Ezra memang tidak salah lihat. Yang sedang menanam benih padi alias tandur itu adalah Wulan, cewek yang diincar oleh Ezra. Ezra terus menatapnya sampai ia tidak menyadari kalau Emin sudah mengumpulkan sekarung penuh rumput untuk kambing juragan di desanya. "Zra, kamu mau ikut ke sawahku gak? Sekalian ke sawahnya Mang Dasa." "Lo udah selesai ngambil rumputnya?" "Sudah. Nanti mau ngambil lagi di bawah dekat sungai." "Ya udah, gue ikut. Btw, lo mau ngaritnya berapa karung, sih? Kok banyak banget." "Tiga karung, Zra." "Oh...." Ezra mengangguk mengerti. Ia kembali menatap Wulan yang sedang sibuk menancapkan lembaran benih padi. Sampai di saung milik Emin, ia menyimpan tas nya dan mengambil beberapa gorengan juga sebotol air mineral. Orang-orang yang ikut bekerja di sawah Emin langsung berbondong-bondong ke saung untuk berkenalan dengan Ezra, si anak kota yang tampan dan keren. Setelah selesai, Ezra dan Emin pergi ke saung milik Mang Dasa. Di sana Ceu Itoh menyambut Ezra dengan girang, dan dengan semangat '45 Ceu Itoh mengenalkan Ezra pada orang-orang yang tidak jauh darinya. Mendengar keributan itu membuat keluarga Wulan mengalihkan perhatiannya. Ibunya Wulan juga ikut heboh dan kemudian bergosip dengan ibu-ibu yang lain. Wulan hanya menghela napas. Dirinya benar-benar sudah bosan mendengar orang-orang yang terlalu berlebih-lebihan memuji Ezra. Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi Emin mengumpulkan rumput. Kini dua karung miliknya sudah dipenuhi oleh rumput-rumput yang segar dan hijau. Emin membawa satu karung ke atas, menyimpannya di saung, sementara Ezra masih menunggu di bawah dan sibuk memotret apa yang menurutnya bagus. "Ezra, lihat nih aku bawa apa," ucap Emin sambil menangkupkan kedua telapak tangannya. Ezra sama sekali tidak curiga dengan apa yang Emin bawa, dengan polosnya Ezra membuka kedua telapak tangan Emin itu kemudian matanya membelalak kaget dan Ezra pun berteriak histeris. "Aaaa...!!! Serangga!!!" "Bagus, kan, Zra? Ini pasti pertama kalinya kamu lihat belalang sembah, ya? Ini ada lagi satu lagi. Ini namanya simeut dogdog, kalau bahasa Indonesia-nya aku gak tahu, mungkin cuma disebut belalang aja?" "Please, Min, jauhin dari gue!" "Lho, kenapa? Ambil aja, Zra. Aku sengaja ngasih belalang ini ke kamu, lho." Emin sama sekali tidak peka terhadap perubahan ekspresi Ezra. Tanpa diduga dan tanpa diinginkan oleh Ezra, tiba-tiba belalang sembah itu terbang ke bahu Ezra dan membuat cowok kota itu panik setengah mati. Karena kaget dan ketakutan yang berlebihan, Ezra menjerit histeris dan beberapa saat kemudian dirinya jatuh pingsan. *** "Hah!!!" Ezra bangun dari tidurnya yang cukup panjang, sekitar empat jam setelah pingsan dan sekarang baru sadar. Peluh membasahi seluruh tubuhnya. Dengan kesadaran mendadak itu, kepala Ezra kembali teringat akan kejadian siang tadi, ketika dirinya diberikan serangga oleh Emin. "Akak Ezra sudah sadar?" Jajang yang juga terbangun dari tidurnya setelah mendengar jeritan Ezra itu terlihat masih linglung. "Emak... Bapak..., Akak Ezra sudah sadar!" Mang Dasa dan Ceu Itoh bergegas menuju ke kamar Ezra. "Ya ampun, Den! Akhirnya Aden sadar juga. Mbok sudah khawatir dan gak tenang hati lihat Aden pingsan gak sadar-sadar." "Aku di mana?" tanya Ezra. "Aden sekarang sedang berada di kamar, berada di rumah." Ezra menghela napas lega. Ia pikir dirinya masih berada di sawah. Selamat, selamat! Ezra merasa selamat dari marabahaya ketakutan akan serangga yang membuatnya tidak bisa berkutik. "Wulan? Emin?" Ezra menanyakan tentang mereka berdua, lantaran yang Ezra ingat sebelum pingsan yaitu Wulan yang tengah menatapnya dan Emin yang tersenyum lebar, tapi ekspresi wajah mereka langsung berubah ketika mendengar Ezra berteriak histeris. "Mereka sudah pulang, Kak. Orang-orang di sawah tadi menjenguk. Oh iya, bapak dan Akak Emin yang bawa motor Akak ke sini, soalnya Akak Emin gak bisa bawa motor. Teh Wulan yang telepon Pak Mantri buat meriksa kondisi Akak Ezra, takut-takut ada kenapa-kenapa." Ezra membantingkan tubuhnya ke atas kasur. Ia menutup wajahnya dengan sebelah tangan. Kenapa, sih, hal memalukan seperti ini selalu saja di hadapan Wulan. Mau ditaruh di mana wajah Ezra yang tampan dan keren ini? Di mana ada Wulan, pasti di situ Ezra selalu sedang dalam kondisi yang memalukan. "Tadi Mbok sudah telepon bapak dan ibu, beliau hanya tertawa. Aduh, maaf ya, Den. Si Mbok jadi merasa bersalah." Ezra menghela napas, sudah ia duga reaksi orang tuanya akan seperti itu. Paling mereka menyebut Ezra si anak kota yang manja, sama seperti sebutan yang dulu pernah Wulan bilang padanya. Ya Ezra memang si anak kota yang manja dan penakut. Norak banget gak, sih, pingsan gara-gara melihat serangga? Ya ampun, payah banget. Pokoknya, kalau kapan-kapan ada orang yang mengajak Ezra main ke sawah, Ezra akan menolaknya. Agak menyesal juga Ezra selalu menolak ajakan nongkrong dari teman-teman tukang bolos di sekolahnya, setidaknya nongkrong-nongkrong di pinggir jalan lebih baik daripada main di sawah yang bikin pingsan dan memalukan diri sendiri. Apa nanti Ezra menjauhi Emin saja, ya, supaya pergaulan Ezra bisa bebas kembali, nongkrong ala anak muda, bukan malah kerja di sawah, sungguh ketinggalan jaman. Ezra menyesal juga selalu menolak ajakan main dari para pacarnya, ya soalnya Ezra sibuk mengejar ranking game onlinenya. Tapi karena sekarang ia sudah berada di game level atas, mungkin Ezra bisa menerima tawaran jalan-jalan mereka.
Download Novelah App
You can read more chapters. You'll find other great stories on Novelah.
the best
06/07
0love this
20/06
0Siok cerita ni
14/06
0View All